Turi-Turian Simanjuntak Si Tolu Sada Ina Di Desa Hutabulu

Analisis Sosiologi Sastra Terhadap Turi-Turian Simanjuntak Si Tolu Sada Ina Di Desa Hutabulu Mejan Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir Ariska Yanti Sihotang


Dalam penelitian ini penulis membahas analisis Sosiologi Sastra Terhadap Turiturian Simanjuntak Si Tolu Sada Ina. Masalah dalam penelitian ini adalah unsur instrinsik cerita rakyat Simanjuntak Si Tolu Sada Ina, nilai-nilai sosiologi sastra yang terkandung dalam cerita rakyat Simanjuntak Si Tolu Sada Ina dan untuk memaparkan pandangan masyarakat desa Hutabulu Mejan terhadap cerita rakyat Simanjuntak Si Tolu Sada Ina.

Cerita Simanjuntak Si Tolu Sada Ina merupakan salah satu bentuk cerita yang dimiliki masyarakat Batak Toba terkhususnya tentang marga, tepatnya berada di Desa Hutabulu Mejan, Kecamatan Balige Kabupaten Toba Samosir. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: unsure instrinsik cerita, nilai-nilai sosiologi sastra, dan pandangan masyarakat Desa Hutablu Mejan terhadap cerita Turi-turian Simanjuntak Si Tolu Sada Ina . 

Susunan cerita dan peristiwa yang terjadi di dalam cerita Turi-turian Simanjuntak Si Tolu Sada Ina terstruktur dan diterjemahkan menjadi sebuah cerita serta menggali nilai budaya dan adat istiadat marga di dalamnya, Metode yang digunakan dalam menganalisis masalah penelitian ini adalah metode deskriptif dengan tehnik penelitian lapangan. Penelitian ini menggunakan teori struktural dan teori sosiologi sastra. 

turi turian simanjuntak si tolu sada ina di desa hutabulu

Adapun unsur-unsur instrinsik yang ada dalam cerita ini meliputi: tema, alur atau plot, latar atau setting, dan perwatakan atau penokohan. Cerita rakyat Turi-turian Simanjuntak Si Tolu Sada Ina mengisahkan seorang ibu yang selalu sabar dan tabah dengan perlakukan anak tirinya sendiri sampai pada ia mau meninggal ia menyampaikan pesan yang sampai saat ini masih berlaku dikalangan masyarakat khususnya marga Simanjuntak dan Sihotang apalagi saat pesta adat mereka tidak boleh digabungkan.

Turi-Turian Simanjuntak Si Tolu Sada Ina 

Dahulu kala di sebuah dataran tinggi danau Toba, ada perkampungan yang bernama Parlumbanan Balige, yang saat ini sudah diganti menjadi Hutabulu Mejan. Disana hidup seorang Raja yang bernama Tuan Somanimbil Simanjuntak dan istrinya Boru Limbong untuk hidup bersama di perkampungan itu. 
Mereka memiliki sawah, perkebunan, dan hewan ternak yaitu kerbau untuk dijadikan membajak sawah di kampung tersebut. 

Tuan Somanimbil Simanjuntak dan istrinya Boru Limbong sudah di karuniai tiga anak laki-laki, yaitu : 
a. Somba Debata Siahaan
b. Raja Marsundung Simanjuntak
c. Tuan Maruji Hutagaol

Setelah beberapa tahun lamanya anak-anak dari Tuan Somanimbil Simanjuntak dan Istrinya Boru Limbong telah dewasa bahkan sudah mempunyai kehidupan mereka masing-masing. Anak pertama dari Tuan Somanimbil Simanjuntak yaitu Somba Debata Siahaan menikahi Boru Lubis dan mereka pergi meninggalkan kampung halaman untuk tinggal lama disebuah perkampungan dataran tinggi Balige. 

Anak kedua yaitu Raja Marsundung Simanjuntak yang menikah dengan Boru Hasibuan dan bertempat tinggal di Hutabulu Mejan bersama dengan Ayahnya Somanimbil Simanjuntak, namun Raja Marsundung dahulu ditimpa musibah karena istrinya boru hasibuan meninggal dunia setelah mereka memiliki 2 orang anak yaitu laki-laki dan perempuan. Sehingga membuat Raja Marsundung Simanjuntak menikah lagi dengan Sobosihon boru Sihotang.

Dan anak ketiganya yang bernama Tuan Maruji Hutagaol telah menikah dengan Boru Pasaribu dan mereka tinggal di Desa yang dinamakan Porsea. Pada saat itu, sebelum meninggal Ayahnya Tuan Somanimbil Simanjuntak telah berpesan kepada ketiga anaknya ini supaya tidak ada perebutan ataupun perselisihan harta warisan yang telah dibagi ratakan kepada ketiga anak laki-lakinya ini. Raja Marsundung Simanjuntak adalah anak kedua dari Tuan Somanimbil Simanjuntak dan Boru Limbong. 

Pada saat itu Raja Marsundung dengan istri pertamanya Boru Hasibuan dikaruniai seorang putera yang diberi nama “Raja Parsuratan dan seorang puteri yang bernama Sipareme. Mereka tinggal di Desa Parlumbanan Balige. Kehidupan mereka diberkati dengan banyak sekali ternak kerbau, sawah dan tanah yang ada di Parlumbanan Balige termaksud setengah punya Raja Marsundung, hingga pada saat itu orang di perkampungan Hutabulu sering menyebut Raja Marsundung dengan sebutan “Simanjuntak Parhorbo”. 

Suatu ketika timbullah masalah dikeluarga Raja Marsundung, dia melihat istrinya boru Hasibuan sakit parah sampai membuat Raja Marsundung begitu sedih. Hingga akhirnya takdir berkata lain, Istrinya Boru Hasibuan telah meninggal dunia, puteranya si Parsuratan sudah tumbuh menjadi dewasa. 

Dari kecil parsuratan sudah diajari untuk hidup mandiri, sehingga Parsuratan yang selalu mengurus bapaknya Raja Marsundung dan ternak kerbau mereka. Raja Marsundung menjadi duda, dia sudah berumur 50-an tahun. Suatu ketika dia sakit parah bahkan dia tidak sanggup lagi mengurus dirinya sendiri karena biasanya istrinya Boru Hasibuan selalu mengurus semua kebutuhannya. 

Sementara Puterinya Sipareme segan mengurusnya. Lalu Somba Debata Siahaan dan Istrinya boru Lubis datang ke Parlumbanan Balige untuk mengurus adiknya yang sedang sakit. Didalam adat Batak Toba yang layak mengurus dia hanya Boru Lubis. Kalau Boru Pasaribu adalah istri adiknya pantang bicara dengan dia begitu juga menantunya tidak boleh berbicara dengan dia sebab begitu adatnya. 
Kemudian tidak begitu lama, Raja Marsundung Simanjuntak sembuh dari sakit yang dialaminya, datanglah Somba Debata Siahaan Menghampiri si Raja Marsundung, katanya “Menikahlah kau lagi, supaya kelak ada yang mengurus mu apabila kau sakit”. 

Saat mendengar perkataan Somba Debata Siahaan, langsung datang adiknya Tuan Maruji Hutagaol mengatakan “ah...tidak usah kau menikah lagi...” bahkan anaknya Raja Parsuratan juga tidak menyetujui hal tersebut karena nantinya jadi ada yang menggugat harta warisan ayahnya membuat Raja Parsuratan tidak senang karena dia takut tidak kebagian warisan jika dia mempunyai adik laki-laki dari istri kedua ayah nantinya. 

Raja Parsuratan menjadi anak yang jahat dan serakah akan harta sampai membuat dirinya ingin menguasai semua harta ayahnya.

Keesokan harinya Raja Marsundung Simanjuntak mengambil keputusan, dia menyetujui untuk menikah lagi, lalu pergilah dia bersama Somba Debata Siahaan berangkat menyeberangi Danau Toba, sesampainya mereka di daerah Si Raja Oloan, mereka melanjutkan perjalanan memasuki perkampungan Parsuratan yang jaraknya lumayan jauh kedalam sekitar 51.6km. 

Saat itu hari sudah sore, akhirnya jumpalah Raja Marsundung Simanjuntak dengan seorang wanita yang bernama Sobosihon boru Sihotang dan melihat seorang lelaki memiliki rupa yang sangat aneh dikepalanya dinamai Raja si Godang Ulu Sihotang. 

Keanehan ini tampak pada anak-anaknya karena mereka sering dikucilkan banyak orang, putrinya yang bernama Sobosihon sudah berumur tiga puluhan tahun belum ada laki-laki yang mau datang untuk melamarnya. 

Sobosihon boru Sihotang tertarik dengan Raja Marsundung setelah mereka berkenalan, dia langsung menjumpai Bapaknya, katanya “ada bapak yang datang marga Simanjuntak kesini, sepertinya dia ingin melamar seseorang, tapi umurnya sudah tua pak dan dia sudah duda, bagaimana menurut Bapak?”... dalam hati Bapaknya sangat bahagia karena akhirnya ada yang datang ke rumahnya ingin melamar puterinya walaupun sudah duda. Lalu Raja Si Godang Ulu menjawab “panggillah dulu dia ke rumah, supaya bapak tahu dan ingin berbicara kepadanya”, lalu pergilah Sobosihon boru Sihotang menjumpai Raja Marsundumg dan dibawak kerumah tulang si Godang Ulu. 

Kata bapaknya “kalau ingin melamar puterikunya kau bere, aku mengizinkan mu untuk melamar puteriku, walaupun sudah duda kau tidak masalah samaku bere... tidak ada salahnya jika tulusnya dari hatimu ingin melamar puteri ku”. Pernikahan secara adatpun dilakukan, wali pengantin prianya adalah abangnya si Somba Debata Siahaan. 

Akhirnya Sobosihon menjadi istri sah Raja Marsundung dan membawanya ke Desa Parlumaban Balige untuk hidup bersama Sobosihon. Setelah tiba waktunya, Raja Marsundung mendapatkan kabar bahwa istrinya Sobosihon boru Sihotang sedang mengandung, akhirnya Sobosihon hamil... membuat hati Raja Marsundung sangat bahagia. 

Namun Mendengar kabar gembira itu Raja Parsuratan tidak begitu senang mempunyai adik dari ibu tirinya, dia sangat gelisah dan takut... “jika nanti bayi yang dilahirkan anak laki-laki, nantinya aku jadi tidak kebagian harta bahkan semuanya menjadi milik adik tiriku...aku tidak bisa tinggal diam seperti ini, aku harus melakukan sesuatu” katanya sambil memberi makan kerbau. 

Kehamilan Sobosihon membuat dia selalu saja merasa ada yang mengganggunya apalagi sudah memasuki bulan kedelapan. Saat malam hari tidurlah Sobosihon dan Raja Marsundung, Sobosihon bermimpi hingga membuat dia terbangun sampai keringat dingin, didalam mimpi sobosihon terlihat seperti kenyataan yang akan dialaminya. 

Tibalah pagi, Sobosihon membersihkan rumah serta membuatkan sarapan untuk Raja Marsundung. Setelah mereka selesai sarapan, Sobosihon pergi menjumpai Bapaknya Raja si Godang Ulu ke desa Si Raja Oloan dan menceritakan mimpi tersebut. “Ada apa kau kemari puteriku..?” Aku kemari ingin memberitahu bapak bahwa aku mimpi yang tidak baik pak, “Mimpi apa itu puteriku?” “semalam aku bermimpi saat pergi mandi ke sungai, ku bukakanlah bajuku, tiba-tiba datang petir langsung menyambar buah dadaku sebelah kiri”. Bah...ini pertanda buruk, dalam hati Raja si Godang Ulu.

Raja si Godang Ulu pun langsung memanggil dan menyuruh Boru Pasaribu menantu perempuannya pergi bersama dengan Sobosihon untuk kembali ke Parlumbanan Balige. Pada saat itu menantunya ini juga baru saja melahirkan, katanya...“Aku baru saja lima hari melahirkan bayi kecilku (bayi perempuan), aku takut bayi ku kenapa-kenapa jika aku ikut”. “tidak apa-apa menantuku, saat ini Sobosihon sebentar lagi akan melahirkan...” kata Raja si Godang Ulu. Karena taatnya kepada mertuanya akhirnya boru Pasaribu mau. Sebelum berangkat Raja Si Godang Ulu menyampaikan pesannya “saat Sobosihon nantinya bersalin akan ada bahaya mengancam bayinya apabila yang dilahirkan itu bayi laki-laki, kamu menantuku langsung tukarkan bayi perempuan mu dan harus dipangku, disusui sampai bahaya yang menimpa Sobosihon berlalu, kelak kedua bayi itu sudah dewasa, maka mereka sebagai berpariban telah dipertunangkan sejak lahir.” Setelah pesan disampaikan mereka langsung pulang ke Parlumbanan Balige. 

Tiba waktunya Sobosihon boru Sihotang melahirkan dan dibantu oleh dukun beranak, akhirnya lahirlah bayi Raja Marsundung, bayi itu langsung dimandikan dan ditukarkan sesuai pesan yang disampaikan Raja Si Godang Ulu. Namun saat itu terdengar kabar keseluruh penduduk kampung bahwa bayi yang dilahirkan adalah bayi laki-laki hingga sampai ke telinga Raja Pasuratan, sampai membuatnya menjadi semakin penasaran.. “aku harus pergi untuk memastikannya langsung, kalau benar bayi laki-laki aku harus membunuhnya, karena aku tidak mau kalau harta Ayah menjadi terbagi” kata Raja Parsuratan. 
Sesudah itu, diundang satu kampung untuk acara makan bersama atas syukuran kelahiran bayi mereka. Raja Parsuratan juga ikut serta datang ke acara itu dengan niat busuknya membawa pisau penyadap pohon enau di dalam sarung yang terselip dipinggangnya, akan tetapi bayi laki-laki itu sudah di tukarkan dengan bayi perempuan. 

Kehadiran Raja Parsuratan membuat Sobosihon panik dan gelisah karena dia sudah tahu maksud jahatnya, namun orang kampung yang turut hadir justru terharu dan bahagia karena selama ini satu kampung sudah tahu kalau dia tidak pernah baik kepada Sobosihon ibu tirinya, padahal mereka tidak tau kalau kedatangan Raja Parsuratan ingin membunuh adik tirinya, katanya ”sini aku ingin menggendong adikku” tak lama kemudian bayi itu kencing dipangkuan Raja Parsuratan, “Adikku telah mengencingi ku jadi biar aku saja yang menggantikannya...lalu inilah kesempatanku untuk menyelipkan pisau ketika kupakaikan celana dalamnya, bisiknya” berikan padaku celana dalamnya untuk kupasangkan” lalu Sobosihon berkata “biar ibu saja menggantikannya...” namun Raja Parsuratan bersikeras ingin menggantinya sampai yang lain menyuruh Sobosihon untuk menuruti keinginannya. 

Saat membuka celana dalam bayi, Raja Parsuratan begitu heran dan marah karena bayi yang dilihatnya bukanlah bayi laki-laki. Merasa niatnya sudah terbaca membuat hatinya geram serta berdiri melangkahi bayi itu, berjalan menghampiri Sobosihon dan berkata; “Aku mendengar dari orang lain bahwa yang lahir adalah adikku laki-laki, tetapi engkau menipuku dengan memberikan anak perempuan untuk aku pangku,,, inilah akibatnya bagi mu karena telah membohongiku” Raja Parsuratan menghujamkan pisau tersebut tepat didada Sobosihon sampai membuat buah dada sebelah kirinya terpotong, lalu dia lari meninggalkan acara dalam keadaan kacau. Raja Parsuratan tidak berhasil menemukan dan membunuh adiknya akan tetapi buah dada sebelah kiri Sobosihon ibu tirinya telah menjadi tumbalnya, maka bayi laki-laki itu diberi nama “Raja Mardaup Simanjuntak” dengan makna yang mempunyai arti akan kejadian yang dialami Sobosihon boru Sihotang. 

Dalam beberapa bulan, Sobosihon sudah sehat dan sedang mengandung lagi, namun kali ini dia mengandung bayi perempuan. tibalah saatnya Sobosihon melahirkan dan terdengar kabar keseluruh penduduk daerah Si Bagot Ni pohan. Hal ini tidak meresahkan hati Raja Parsuratan, karena dalam tradisi orang Batak anak perempuan tidak berhak dalam pembagian warisan, sehingga Raja parsuratan turut gembira dengan kelahiran adik tiri perempuannya. Dan bayi itu diberikan nama “Si Boru Hagohan Naindo Simanjuntak.” Selang beberapa tahun kemudian, kedua anak Sobosihon dan Raja Marsundung sudah besar, kemudian terdengar kabar bahwa Sobosihon hamil lagi. 

Tak henti-hentinya Raja Parsuratan mengamati kehidupan ibu tirinya yang dia anggap bisa mengurangi jatah harta warisan untuknya kelak. Lalu dia pergi ke orang pintar untuk bertanya apa jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan ibu tirinya. Setelah mengetahui jawaban orang pintar itu bayi laki-laki, Parsuratan langsung merancang niat jahatnya agar bayi itu tidak bernyawa saat dilahirkan. 

Pada saat ayah dan ibu tirinya tidak ada dirumah, dia bekerja keras untuk memotong kayu penghalang papan tepat disekeliling tiang tengah rumah supaya ketika ibunya bersalin kayu penghalang papan itu rubuh ketika diduduki, setelah itu sang bayi akan celaka terhimpit karena setiap ibu rumah tangga yang hendak bersalin akan menyandarkan badannya ditiang itu dan kain pegangan yang dipakai untuk bersalin juga digantungkan disitu. 

Namun niat jahat Raja Parsuratan tidak berhasil karena kayu itu patah sebelum sang bayi lahir, tembuslah lantai rumah itu sampai membuat Sobosihon kaget dan tergeletak dikolong rumah, seketika itu Sobosihon langsung melahirkan dan bayinya selamat tanpa bantuan dukun beranak. Oleh karena itu bayi tersebut diberi nama “Raja Sitombuk Simanjuntak”. Ketamakan akan harta warisan membuat hati dan pikiran Raja Parsuratan tetap ingin mencelakai Sobosihon boru Sihotang, hingga pada akhirnya lahir anak keempat yaitu bayi perempuan dan dibantu oleh dukun beranak, telah diberi nama Si Boru Naopon. 

Bahkan sebelum proses persalinan Raja Parsuratan telah mengetahui dari orang pintar kalau adiknya yang baru lahir ini adalah perempuan, sehingga tidak menjadi masalah baginya. Selang dua tahun, Sobosihon hamil lagi anak ke lima bahkan dikabarkan akan melahirkan. Rupanya kali ini Raja Parsuratan sudah pergi ke orang pintar untuk bertanya jenis kelamin adik tirinya itu. Katanya dukunnya “anak yang akan lahir ini adalah bayi laki-laki”. Setelah Raja Parsuratan tahu dia teringat akan permintaan orang Batak perihal rumah “Rumah tempat berbagai macam tuah adalah tempat lahirnya putera dan puteri pembawa tuah”. 

Raja Parsuratan ingin sekali memusnahkan rumah tempat tinggal ayah dan ibu tirinya, karena dia sendiri sudah mempunyai rumah setelah menikah dan pisah rumah dari orang tuanya. Raja Parsuratan hanya mempunyai seorang anak laki-laki, oleh sebab itu dia merasa posisinya kelak jadi terancam, karena semakin banyak adik laki-laki yang dilahirkan ibu tiriya membuatnya ingin slalu berbuat jahat untuk melenyapkannya.

Tibalah waktunya Sobosihon untuk melahirkan anak kelima. Warga kampung turut hadir beserta dukun beranak untuk memasuki rumah, dari kejauhan Raja Marsundung sudah mengamat-amati mereka...”semua telah masuk kedalam rumah, aku harus dari belakang untuk membakar atap rumah dari bagian dapur”. Api pun menyala dari dapur, semua orang berhamburan keluar rumah termasuk Sobosihon. “Api....api....api....tolong” teriak Sobosihon dengan rasa panik, karena Sobosihon sudah tidak sangup lagi untuk berlari, akhirnya dia memegang batang bambu yang berada dipinggir pekarangan rumahnya. tetangganya disekitaran itupun langsung berdatangan dan berusaha bergotong-royong memadamkan api. 

Karena paniknya mereka tidak lagi memperhatikan Sobosihon yg sudah kesakitan sampai akhirnya Sobosihon melahirkan anaknya di pekarangan rumah. Kemudian diberi nama “Raja Hutabulu Simanjuntak” dengan arti dia dilahirkan dibawah pohon bambu. Sobosihon selalu kuat dalam setiap persalinan yang dialaminya karena perlakuan anak tirinya Raja Parsuratan terhadapnya. apalagi Sobosihon bertahan karena Suaminya Raja Marsundung dan keluarga Somba Debata Siahaan terutama Boru Lubis yang sangat sayang kepadanya. Raja Marsundung sudah lama sakit-sakitan sampai pada akhirnya dia meninggal dunia sekitar umur delapan puluh lima tahun. 

Sobosihon begitu sedih kehilangan suaminya dan anak bungsu mereka masih menyusui bahkan keempat anaknya juga masih belum cukup dewasa. Dalam suku batak Toba anak tertua adalah pengganti Bapak. Sehingga Raja Parsuratan yang menggantikn kedudukan ayahnya menjadi kepala keluarga.“Aku harus memanfaatkan situasi ini menguasai semua aspek kehidupan ibu tiri, adikku dan terutama adik tiriku laki-laki setiap hari” kata Raja Parsuratan. Namun Sobosihon selalu mengingatkan anak-anaknya agar mereka selalu menghormati abang tirinya sebagai pengganti ayahnya. 

Raja Parsuratan telah menikah dan mempunyai rumah sendiri, pisah rumah dari orang tuanya. Dia hanya mempunyai seorang anak laki-laki, makanya dia selalu merasa dirinya terancam karna ibu tirinya itu. Setelah beberapa tahun ayahnya meninggal, Raja Parsuratan terus memanfaatkan tenaga keenam adiknya, anak tunggalnya serta istrinya untuk mengusahakan semua kebun dan sawah peninggalan mendiang ayahnya untuk dikelola sebaik mungkin hingga akhirnya perekonomian Raja Parsuratan meningkat, lalu dia membangun rumah ukir (rumah gorga). “Rumah ku sudah hampir siap dibagun, hanya saja tinggal proses pembuatan gorga untuk diukir relif (dahulu jika ingin membuat rumah gorga menggunakan darah manusia sebagai campuran pewarna relif, hal tersebut agar rumah itu mempunyai semangat atau ada keangkerannya), aku harus berbuat sesuatu untuk mendapatkan darah manusia”. 

Pada sore hari dia melihat kedua adik perempuannya tampak akrab, Sipareme yang sudah gadis dan adik tirinya Hagohan Naindo mulai remaja. Timbul niat jahat Raja Parsuratan terhadap adik tirinya. “Aku harus membunuh adik tiriku untuk mendapatkan darahnya supaya ku jadikan campuran pewarna rumah gorga itu pada saat mereka tidur, katanya”. Hampir setiap malam Sipareme dan Hagohan Naindo mengayam tikar bahkan mereka tidur sama-sama bersama dengan Sobosihon tanpa menyalahkan lampu apalagi mereka sering menutupi badan dengan tikar untuk menghindari gigitan nyamuk. 

Namun Raja Parsuratan tidak tahu tentang hal ini, cara dia membedakan mana yang harus dibunuh, dia memberikan gelang yang terbuat dari gading peninggalan ibu kandung mereka kepada adiknya Sipareme karena gelang itu menyala saat malam hari. Lalu Sipareme memakai gelang itu. Saat mereka bermain di pekarangan rumah, Hagohan Naindo melihat gelang yang dipakai kakaknya dan tertarik dengan gelang tersebut sehingga dipinjamnya dan langsung dipakai Hagohan Naindo. Saat Malam tiba mereka mengayam tikar sampai waktunya istirahat tidur. 

Dan gelang tadi masih ditangan Hagohan Naindo. Raja Parsuratan memanggil pembunuh bayaran dengan membawa pisau, “ada dua gadis tidur dirumah ayahku, jadi kamu harus membunuh gadis yang tidak memakai gelang, pergilah sebelum matahari terbit. katanya”. Lalu pembunuh itu pergi dan langsung membunuh yang tidak memakai gelang, sayangnya Sipareme adik kandung Parsuratanlah yang terbunuh dan darahnya sudah ditampung untuk di berikan kepada Raja Parsuratan. 

Sementara mayat Sipareme di buang kelembah yang tak dapat dituruni (yang saat ini terletak dilembah Sipintu-pintu, perbatasan antara Balige dengan Siborongborong). Di pagi hari, Hagohan Naindo telah menangis karena melihat kakaknya sudah hilang dari tempat tidur. Raja Parsuratan heran dan kaget saat melihat Hagohan Naindo masih hidup, dia baru menyadari bahwa yang dibunuh adalah adik kandungya sendiri. 

Dengan berjalannya waktu, Sobosihon jatuh sakit hingga penyakitnya parah, apalagi dia tahu kalau Sipareme dibunuh dan darahnya dijadikan campuran pewarna ukiran rumah Raja Parsuratan sehingga membuat dia selalu bersusah hati melihat kelakuan anak tirinya itu. Saat penyakitnya semakin memburuk, dia sudah dikelilingi kelima anaknya, sedangkan Raja Parsuratan saat itu masih di sawah. Berhubung kalian kumpul disini, mamak ingin menyampaikan pesan untuk kalian ingat kelak supaya tidak ada perselisihan nantinya; ” 
  • Jangan lupakan apa yang telah dilakukan oleh abangmu Raja Parsuratan akan tetapi, jangan balaskan perbuatan jahatnya karena hanya Mula Jadi Na Bolon (Tuhan) sajalah yang akan membalaskannya.

  • Raja Parsuratan itu adalah abangmu sebagai sebagai ganti ayah bagimu, dimana dia duduk janganlah kamu menghampirinya dan jika kamu sedang duduk di suatu tempat kalau dia datang tinggalkanlah dia, karena dia adalah ganti ayah bagimu yang harus kamu hormati.

  • Jangan kamu menyusahkan hatinya walaupun dia menyusahkan kamu, bila kamu sedang menyalahkan api di dapur rumahmu atau dimana saja lalu asapnya terhembus angin ke rumahnya atau ke arah dimana abang mu berada padamkanlah api mu itu supaya dia tidak mengeluarkan air mata karena asap api mu walaupun kamu harus terlambat menyiapkan masakanmu.

  • Jangan bertengkar dengan abangmu, sebab itu apabila tanaman mu ada yang condong tumbuh mengarah ke pekarangan rumahnya, seumpama tanaman pisang mu tumbuh dan berjantung maka lebih baik tebang saja dari pada setelah buahnya ada lalu diambil oleh anaknya dan kamu tidak bisa menahan emosimu dan jadi bertengkar."
Setelah menyampaikan pesan Sobosihon menghembuskan nafas terakhir. Pesan inilah yang menjadi turun temurun dari keturunan Raja Mardaup, Raja Sitombuk dan Raja Hutabulu bahkan sangat dihargai atau dituruti seluruh keturunan Simanjuntak Sitolu Sada Ina. 

Demikianlah kepergian Sobosihon setelah lima tahun lamanya. Akan tetapi membuat Raja Parsuratan tak henti-hentinya ingin berbuat jahat. 

Kali ini dia ingin mencelakai Si Boru Hagohan Naindo dengan cara liciknya karena pada saat itu lagi musim panen, Raja Parsuratan menyuruh adiknya Si Boru Hagohan Naindo membawakan makan siangnya, Namun karena adiknya ini telat membawakan makan siang ke sawah, dia dicaci maki dan dimarahi lalu mengambil makanan yang dijunjung di atas kepala adiknya itu dan langsung mencampakkan air panas ke wajahnya. 

Si Boru Hagohan Naindo meraung-raung kesakitan karena wajahnya melepuh bahkan saat itu juga Raja Parsuratan mengambil jerami dan menutupi badannya lalu menyulut jerami itu dengan api sehingga Si Boru Hagohan Naindo terbakar hidup-hidup. Setelah tak bernyawa lagi dia ditanam tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. 

Namun setiap perbuatan busuk akan tercium juga baunya, karena ada orang melihat kejadian tersebut dan menceritakan kepada saudaranya. Kematian SiBoru Hagohan Naindo membuat SiBoru Naompon trauma menjalani hidup di Balige. Dia sering menangis mengingat kejadian yang dialami kedua kakaknya. Dia meminta kepada tiga saudaranya untuk mengantarnya ke daerah Si Raja Oloan ke rumah ompungnya Raja Sigodang Ulu. 

Raja Mardaup berkata “Jika SiBoru Naompon Pergi siapa yg akan memasak makanan dan mengurus rumah?”. Lalu Raja Hutabulu berkata “Bukankah dulu abang telah dipertunangkan dengan pariban sejak lahir? sekarang abang ambil saja dia untuk menjadi pendamping abang secepatnya agar ada yang mengurus rumah dan memasak makanan untuk kita”. Mereka setuju dan langsung pergi mengantarkan Si Boru Naompon ke rumah ompung mereka. 

Setelah sampai ke daerah Si Raja Oloan lalu mereka kembali ke balige bersama paribannya Boru Sihotang cucu Si Godang Ulu yang telah menjadi istri Raja Mardaup dan dikaruniai tiga orang anak laki-laki yaitu: Na Mora Tano, Na Mora Sende dan Tuan Si Badogil. 

Setelah anak-anak Raja mardaup telah dewasa dan menikah, terdengarlah kabar bahwa di Laguboti ada seorang gadis cantik putri dari Raja Aruan, cucu dari Pangulu Ponggok. Dia sangat pintar bernyanyi dan merdu suaranya. 

Mendengar kabar itu Raja Sitombuk yang pintar bermain seruling bambu, datang bertandang ke Laguboti. Setibanya disana dia meniup seruling tanpa diketuk pintu rumah para gadis telah membuka pintu untuknya dan sebagian gadis datang melihat permainan suling itu dari dekat. Raja Sitombuk tertarik pada satu gadis tercantik dan pintar pula menyanyi, maksud kedatangannya ingin mempersunting Boru Aruan kepada amang tuanya yaitu Somba Debata Siahaan dan juga abangnya Raja Mardaup, akhirnya pesta adat sepenuhpun diadakan untuk memperistri Boru Aruan. 

Dari pernikahan ini mereka memperoleh seorang anak laki-laki bernama Raja Mangambit Tua. Putri Raja Marsundung yang hidup hanya si Boru Naompon yang tinggal bersama ompungnya saat itu.
Pada saat Raja Hutabulu mau menjemput si Boru Naompon untuk berangkat ke Balige mereka menggunakan sampan di Danau Toba, tiba-tiba angin berhembus kencang, Raja Hutabulu berusaha mengayuh dayungnya agar sampan bergerak menuju arah yang dikehendaki. tiba-tiba dayung patah dan hanyut terbawak ombak, Si Boru Naompon menenangkan keadaan dengan bernyayi; ”Ue..Luahon ahu da parau, ulushon ahu da alogo manang tudiape taho, asalma tu topi tao”. mendengar ada suara wanita bernyanyi, ada seorang pemuda yang berada ditengah Danau Toba dekat bagian pantai Marom, dia langsung mengayuh sampannya menuju sumber suara itu. setelah mendekatkan  sampanya dia melihat ada dua orang di dalam sampan, setelah mengetahui keduanya bersaudara maka pemuda ini Na Mora Jobi Sirait membawa mereka ke Marom dan beristirahat semalam di rumahnya, inilah pertemuan antara si Boru Naompon dengan Na Mora Jobi Sirait dengan senang hati mengantarkan mereka sampai ke Balige keesokan harinya. 

Setelah beberapa hari mereka berkenalan, mereka sepakat untuk menikah. Na Mora Jobi Sirait pun pulang dan memberitahukan kepada kedua orang tuanya untuk melamar si Boru Naompon, dengan senang mereka setuju dan mendukung permintaan putranya lalu berangkat melamar si Boru Naompon.
Raja Parsuratan sudah semakin tua dan jika hendak pergi kemana-mana dia enggan pergi sendirian. kadang-kadang dia membawa anak tunggalnya, akan tetapi sering juga bersama adek tirinya yang masih lajang yaitu Raja Hutabulu. 

Suatu saat Raja Parsuratan dan Raja Hutabulu pergi dengan membawa kantongan, mereka berjalan mengikuti jalan setapak naik turun lembah. Ketika mereka berjalan di dataran tinggi Silangit, tiba-tiba Raja Hutabulu melihat segumpal benda jatuh dari atas dan dikejarnya lalu ditangkapnya menggunakan kain panjang lalu di bungkusnya. 

Raja Parsuratan melihat adiknya berlari dan berkata; “adikku, benda apa yang tadi kamu tangkap?”, sahut adiknya; “Abang yang kuhormati, aku belum tau apa yang kutangkap dan kubungkus ini, tetapi aku akan membukanya dan memberitahukan apa isi kain ini pada abang apabila kita sudah kembali ke kampung, asalkan abang berjanji akan membagikan harta peninggalan mendiang ayah kita” tanpa pikir panjang Raja Parsuratan pun setuju dan mereka kembali ke kampung. 
Raja Hutabulu menceritakan kepada kedua abangnya dan juga tentang janji parsuratan akan membagi harta warisan. sebenarnya Raja Mardaup dan Raja Sitombuk tidak pernah berani meminta bagian harta warisan pada abang mereka.

Tibalah waktunya tua-tua kampung diundang datang berkumpul menyaksikan pertemuan itu. Raja Hutabulu menyatakan maksudnya, “ada sesuatu yang jatuh dari atas dan ku tampung lalu ku bungkus dengan kain panjang ku, ini terjadi dalam perjalanan aku dan abang yang kuhormati sewaktu di Silangit, abang kami ini ingin mengetahui apa isi dari bungkusan yang aku sendiri juga belom tahu isinya. 

Namun abang yang kuhormati ini telah berjanji akan memberikan pembagian warisan peninggalan mendiang ayah kami apabila aku menunjukkan dan membagi benda yang akan kita lihat ini”. perkataan tersebut dibenarkan oleh Raja Parsuratan dan disaksikan oleh semua orang yang berkumpul dihalaman rumah Raja Marsundung ayah mereka. 

Maka dihadapan para tua-tua Raja Hutabulu membuka bungkusan kain itu dan tampaklah abu bekas sarang burung yang terakar di dalamnya. Setelah Raja Parsuratan melihat lalu mengatakan bahwa bukanya dia tidak mau membagi warisan dan kemudian dia berkata; “tunggu kalianlah dapat dulu dua bulan”. lalu kumpulan pun bubar dengan kesimpulan bahwa setelah dapat waktunya dua bulan baru akan ada pembagian warisan.

Dua bulan kemudian Raja Hutabulu mengumpulkan tua-tua kampung lagi, dihadapan tua-tua kampung Raja Parsuratan berkata pada adiknya; “mana bulan yang sudah kamu dapat, sudakah ada dua?”. semua yang mendengarnya heran ternyata yang dimaksud Raja Parsuratan bukanlah mengenai tenggang waktu dua bulan, tetapi tentang mendapatkan dua buah bulan. maka tua-tua kampung bubar dengan mengecewakan tiga bersaudara itu dua minggu kemudian, saat malam hari pergilah Raja Hutabulu kesumur duduk termenung dan berkata; “dimanalah aku mendapatkan dua bulan itu?”, saat dia melihat keatas langit dia melihat posisi bulan dan menatap kepermukaan air dalam sumur disitu ada bayangan bulan. segera dia bergegas menjumpai kedua abangnya dan mengatakan bahwa dia menemukan dua buah bulan. 

Dengan rasa was-was kedua abangnya dan Raja Hutabulu kembali mengundang tua-tua kampung. setelah semuanya hadir termasuk Raja Parsuratan, lalu Raja Hutabulu berdiri dan berkata; “Bapak-bapak sekalian kumpulan yang terhormat, amat terlebih abang yang ku hormati, kamu berkata setelah dapat dua buah bulan barulah kamu memberikan warisan dari mendiang ayah kita dan sekarang aku sudah menemukannya”. 

Seluruh yang hadir disitu berjalan menuju sumur. setibanya disana, Raja Hutabulu menunjukkan kepermukaan air di dalam sumur dan terlihat ada bayangan bulan disitu, kemudian dia menunjukkan ke arah atas dimana juga terlihat ada bulan. 

Akhirnya Raja Parsuratan tidak dapat lagi mengelak dan dilakukanlah pembagian warisan setelah mereka kembali kehalaman rumah bersamaan dengan tua-tua kampung. 

Lalu Raja Parsuratan berkata; “Sekarang dihadapan tua-tua kampung aku akan membagikan warisan peninggalan orang tua kita”. Beginilah pembagiannya;
  1. Mengenai sawah, karna aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama di aliri air adalah milik ku dan karna ibu kita dua orang maka tanah akan dibagi dua luasnya.

  2. Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita karna aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka paha depan (Parjolo) setiap kerbau merupakan bagian ku, sedangkan paha belakang (Parpudi) adalah bagian kamu bertiga anak istri ayah yang kedua.
Pembagian warisan itu ditetapkan dihadapan tua-tua kampung dan tidak ada seorang pun yang berbicara menentang pembagian itu. Mengenai pembagian warisan ternak, Raja Parsuratan membagi dengan cara lembu dibagi berdasarkan paha depan (Parjolo) dan paha belakang (Parpudi). 

Hal ini sangat aneh namun dibalik keanehan itu sebenarnya Raja Parsuratan telah mengantisipasi kedepannya supaya hanya dia yang selalu memanfaatkan tenaga kerbau untuk membajak sawah dan menarik pedati, makanya dia membagi dengan cara demikian, karna biasanya dikalangan Batak Toba bila hendak membagi ternak berkaki empat, maka ternak itu dibagi dua dan selalu dibagi menjadi sebelah-sebelah. 

Begitulah terus, jadi dengan peristiwa tersebut orang di kampung itu kebanyakan mengejek Raja Parsuratan dengan sebutan “Parhorbo jolo” sampai pada keturunannya. Sedangkan kepada ketiga bersaudara dari Sobosihon Boru Sihotang ini menyebut mereka dengan “Parhorbo pudi”. Dari hasil pembagian warisan yang dibuat oleh Raja Parsuratan membuat ketiga bersaudara ini untuk mengambil keputusan melepaskan hak mereka atas harta peninggalan ayah mereka supaya dikemudian hari tidak ada lagi kaitan apapun dengan Raja Parsuratan. 

Karena sawah yang dibagikan oleh Raja Parsuratan tidak cukup untuk menghidupi mereka bertiga. Maka Raja Mardaup, Raja Sitombuk, dan Raja Hutabulu membuka lahan persawahan baru diluar permukiman ayah mereka Raja Marsundung Simanjuntak. 

Sehingga lahan persawahan mereka tidak dapat dituntut lagi oleh Raja Parsuratan hingga saat ini.
Jadi Simanjuntak Sitolu Sada Ina ini merupakan sejarah yang paling di ingat oleh semua keturunan dari Marga Simanjuntak dan Sihotang. 

Oleh karna itu mulanya dengan sebutan “Parhorbo jolo dan Parhorbo pudi” adalah sindiran masyarakat karena pembagian warisan yang tidak adil dari anak sulung Raja Marsundung sepeninggalannya di Balige. 

Dari sejarah Simanjuntak Si Tolu Sada Ina ini tidak boleh dilupakan atau dianggap remeh. Namun bagi generasi muda sekarang kurang lebihnya sudah banyak yang tidak tahu lagi. Jadi sudah seharusnya generasi muda saat ini lebih menerapkan cerita Simanjuntak Si Tolu Sada Ina ini untuk kegunaan adat istiadat tau akan budaya silsilah marganya yang merupakan kekayaan budaya dari orang Batak.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url