Dampak dan Akibat dari Perkawinan Semarga dalam Adat Batak Toba

Perkawinan atau Pernikahan Semarga

Perkawinan yang baik menurut pandangan masyakat Batak Toba adalah perkawinan yang mengikuti ketentuan yang berlaku dalam adat Batak Toba.

dampak dan akibat dari perkawinan semarga dalam adat batak toba


PERINGATAN

Penting penulis www.sibatakjalanjalan.com jelaskan terlebih dahulu diawal tentang artikel Dampak dan Akibat dari Perkawinan Semarga dalam Adat Batak Toba ditujukan kepada penggunaan informasi pembelajaran dan tidak bertujuan kepada penganjuran dan atau sebagai bahan dasar melakukan argumentasi pernikahan semarga/sedarah/incest.

Kencana Sembiring dan Tatiek Kartikasari (1998:24) mengungkapkan bahwa : Perkawinan ideal bagi masyarakat Batak Toba ialah perkawinan antara seorang laki-laki dengan anak perempuan saudara laki-laki dari pihak ibunya atau “boru ni tulang na”. Pihak kedua orang tua selalu menganjurkan perkawinan ideal tersebut, dan bila anjuran ini tidak berhasil pihak orang tua biasanya akan mengalah demi kebahagiaan anak-anaknya.

Pada masyarakat Batak Toba, ada semacam ketetapan atau peraturan dalam hukum adat Batak Toba tentang pembatasan jodoh yaitu : tidak boleh menikah dengan saudara seibu/seayah, dengan saudara seibu tetapi lain ayah, laki-laki tidak boleh menikah dengan anak perempuan dari dari saudara perempuan ayah, perempuan tidak boleh menikah dengan anak laki-laki dari saudara laki-laki ibu dan tidak boleh menikah dengan saudara semarga.

Tidak dapat menikah dengan saudara semarga artinya tidak dapat menikahi siapapun yang kedudukannya semarga dengan kita atau dengan kata lain yang berada dalam satu rumpun marga yang sama. (Kencana Sembiring dan Tatiek Kartikasari, 1998:24)

Perkawinan semarga merupakan perkawinan yang terjadi antara pria dan wanita semarga. Semarga dalam pandangan orang Batak disebut juga dengan istilah namariboto (abang-adik). 

Perkawinan semarga dilarang keras didalam adat suku Batak Toba, sebab semarga dianggap sebagai satu keturunan, satu nenek moyang dan bahkan satu perut (sabutuha). 

Namun, jika hal ini terjadi di masyarakat Batak Toba, maka perkawian tersebut sama saja incest (sumbang/larangan). Pengertian incest bagi masyarakat Batak Toba bahkan lebih luas dari sekadar skandal antara orang tua dan anak, atau sesama saudara kandung, melainkan meliputi kawin dengan orang semarga.

Menurut keyakinan masyarakat Batak Toba, meski sudah turun-temurun dalam beberapa generasi, orang semarga tetap merupakan bertali darah bagai kakak dan adik. 

Marga dikukuhkan dalam ketentuan adat sehingga orang semarga tabu untuk menikah. 

Jadi, seandainya terjadi incest, itu berarti arang bukan hanya mencoreng kening keluarga, tapi juga di wajah masyarakatnya. Sikap hormat pada warisan leluhur itu membuat hukum adat yang bicara, yaitu pasangan pelaku dijatuhi sanksi berat.

Hukum adat Batak mengenai larangan menikah semarga telah berlaku sejak dulu kala, namun meskipun demikian perkawinan semarga juga sudah banyak terjadi pada jaman dahulu. 

Berbagai alasan yang telah dikemukakan dahulu kala seperti susahnya untuk pergi kekampung lain untuk mencari pasangan yang berbeda marga karena berbagai faktor atau hambatan yang menyebabkan masyarakat didaerah tersebut menikah dan terjadilah perkawinan semarga. 

Meskipun sejak dahulu sudah ada, tetapi hal tersebut tetaplah pernikahan semarga menjadi tabu untuk dilakukan. Pada masa kini diharapkan perturan untuk tidak menikah semarga menjadi lebih ketat karena tidak adanya alasan mengenai kesulitan yang dialami seperti masa dulu.

Selain daripada perkawinan semarga, terdapat pula perkawinan yang dilarang oleh hukum adat Batak Toba, diantaranya :
  1. Perkawinan marpadan
  2. Perkawinan Bona Ni Ari

Perkawinan Marpadan

Perkawinan Marpadan adalah perkawinan antar marga yang bekerabat dari adanya sumpah leluhur. Misalnya, leluhur marga Sitompul dan Tampubolon. Karena persahabatan yang kental, mereka kemudian mirip saudara kandung hingga sepakat bersipadan atau membuat janji agar keturunan mereka tak akan saling mengawini.

Perkawinan Bona Ni Ari

Perkawinan Bona Ni Ari adalah perkawinan antar lelaki dan wanita yang semarga dengan istri leluhur pertama. Contoh, wanita boru Tambunan tabu kawin dengan pria Manurung karena boru Manurung adalah istri Raja Tambun. 

Sebaliknya pria Tambunan sangat dianjurkan menikahi wanita Manurung. Mereka marpariban boru Manurung itu boru tulang, putri saudara lelaki ibu atau sepupu, keturunan Raja Tambun.

Begitu banyaknya dan begitu tegasnya hukum adat yang dipegang oleh orang Batak membuat orang tua sebisa mungkin akan mengajarkan anaknya terutama anak laki-laki sebagai pewaris marga mengenai silsilah marganya agar kelak tidak salah melangkah dalam memilih pasangan hidup.

Masyarakat yang mengerti partuturon-nya (silsilah marga), maka dia tidak akan mungkin menikah dengan yang semarga, Bona Ni Ari ataupun Marpadan dengan dirinya karena dia akan menganggap yang semarga dengan dirinya itu merupakan satu keturunan bahkan satu perut dengan dirinya dan pada umumnya dia akan menganggap orang yang semarga dengan dirinya itu ialah saudara laki-laki ataupun saudara perempuannya serta yang menjadi ketentuan para leluhur dahulu akan begitu dihormati.

Dampak Akibat dan Sanksi Terhadap Perkawinan Semarga

Perkawinan semarga merupakan perkawinan yang menyimpang dan melanggar ketentuan hukum adat Batak Toba yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu dan pada dasarnya memang ditentang baik itu oleh tokoh adat maupun masyarakat Batak Toba. 

Namun, disisi lain orang yang menikah dengan yang semarga ternyata dapat hidup baik dan sejahtera dan punya keturunan sehingga membuat ketentuan ini sudah mulai dianggap tidak tabu lagi oleh masyarakat khususnya masyarakat Batak yang sudah lahir dan hidup di kota.

Namun apa yang dianggap wajar bagi warga dan wilayah desa yang melakukannya, ternyata belum bisa diterima penduduk di luar desa itu.

Karena tidak semua orang memiliki persepsi yang sama terkait perkawinan semarga ini. Ada yang masih memegang teguh hukum adat yang berlaku dan ada yang sudah mulai tidak mengindahkannya lagi dan menganggap hal itu merupakan sebagai hal yang biasa saja.

Dengan adanya ketentuan adat mengenai larangan perkawinan semarga yang terjadi dalam lingkungan masyarakat adat suku Batak Toba, menyebabkan perkawinan semarga ini sangat dihindari dan dilarang bagi orang Batak Toba. 

Bukan hanya orang Batak Toba, diharapkan larangan pada pernikahan semarga juga berlaku untuk sub Batak lainnya.

Pernikahan Semarga Dalam segi Biologis

Terjadinya perkawinan semarga apabila ditinjau dari segi biologis maka akan berdampak kepada kesehatan manusia itu sendiri yaitu susahnya mencegah penyakit gen buruk dari orang tua ke anak-anaknya kelak, perkawinan seperti ini juga dapat meningkatkan kemungkinan mendapatkan dua salinan gen yang merugikan. 

Selain daripada itu perkawinan ini juga dapat meningkatkan resiko kematian serta berdampak kepada adanya masalah dalam hal gangguan resesif seperti kebutaan, ketulian, penyakit kulit, cacat dan lain sebagainya. (Profesor Alan Bittles, direktur pusat genetik manusia di Perth, Australia)

Bagi masyarakat Batak Toba perkawinan semarga mengakibatkan penduduk daerah lain akan mengisolasi mereka yang melakukannya, sebab menurut pandangan mereka menikah dengan marga lain bisa memperluas sistem kekerabatan sedangkan dengan yang semarga tanpa menikahpun mereka sudah menjadi saudara.

Diberbagai daerah, hukuman atau sanksi yang dikenakan akibat pernikahan semarga tidaklah sama. Ada yang lebih ringan, misalnya hanya dikeluarkan dari masyarakat marga dan tidak diterima pengaduannya apabila seseorang membutuhkan pertolongan dari masyarakat marga yang bersangkutan, hingga ada juga yang berat.

Yaitu hukuman yang biasanya diterima oleh si pelanggar ialah keduanya bisa diusir dari kampung (huta), dibuang dari rumpun marganya atau tidak menggunakan marga lagi, di cemooh atau direndahkan di lingkungan masyarakatnya, tidak dapat ikut serta dalam kegiatan adat atau bahkan dibunuh.  Namun, seiring dengan adanya perlindungan HAM maka pembunuhan itu tidak ditemukan lagi di saat ini.

Sanksi bagi individu yang melanggar ketentuan hukum adat yang berlaku masih tetap ada dan berlaku. 
Hal tersebut dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Maria Novita Parhusip (2012), mengungkapkan bahwa sanksi bagi para pelaku perkawinan semarga yaitu seperti dihina, dicemooh oleh masyarakat menimbulkan konflik interpersonal, dimana konflik yang muncul ketika dua orang/ lebih mengalami ketidaksetujuan. 

Perselisihan ini dapat disebabkan oleh kesalahpahaman kecil atau sebagai hasil dari komunikasi yang buruk, perbedaan-perbedaan yang dirasakan dan orientasi biologis.

Namun, pelaku yang melakukan perkawinan semarga harus merombak marga sipengantin perempuan dengan marga dari ibu suaminya agar tutur sapa yang semestinya tidak menjadi rusak ataupun tumpang tindih.

Adapun konsekuensinya bagi pelaku adalah mereka tidak bisa mengikuti upacara adat setempat apabila ada horja (perayaan besar) karena mereka melanggar ketentuan yang berlaku yang masih disakralkan sampai sekarang. 

Perubahan marga pada pihak perempuan menimbulkan konflik dalam diri, suatu keadaan dimana dorongan-dorongan dalam individu yang memiliki kekuatan yang sama besar berlainan arah.

Konflik-konflik yang muncul pada diri inividu merupakan dampak dari sanksi-sanksi yang akan diperoleh untuk individu yang ingin melangsungkan pernikahan semarga. 

Konflik-konflik dapat berupa terhadap diri individu tersebut serta konflik antara individu dengan individu lainya di luar individu tersebut. Berlainan arahnya keinginan pelaku pernikahan semarga dengan larangan adat yang menimbulkan sanksi-sanksi sosial membuat pelaku pernikahan semarga mengalami konflik. (Maria Novita Parhusip (Skripsi 2012))

Bagi masyarakat Batak Toba, suatu perkawinan tidak sah apabila perkawinan tersebut tidak melaksanakan adat. Disinilah kita dapat melihat kekuatan hukum adat yang berlaku di suatu daerah. 

Sehingga berbagai macam cara digunakan agar mereka yang menikah dengan yang semarga dapat melaksanakan acara adatnya agar mereka tidak kehilangan identitas dan tetap dapat mengikuti setiap upacara adat yang berlaku di dalam adat suku Batak Toba.

Simanjuntak, Yusan Elpriani. 2017. Persepsi Masyarakat Batak Toba Terhadap Perkawinan Semarga Dalam Adat Suku Batak Toba Di Bahal Gajah Sidamanik Simalungun Sumatera Utara. Bandar Lampung. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung

Baca juga artikel lainnya tentang :
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url