Hak dan Kewajiban Wanita Batak dalam Hukum yang menikah dengan Pria diluar suku Batak

Kedukan Pria dan Wanita Dalam Adat Batak

Seiring perkembangan zaman, pernikahan antar suku di luar dan sekitar Sumatera hingga jawa dan luar negeri antara pria Batak dan wanita Batak kini sangat akrab terdengar. Memang pada dasarnya hukum suku adat Batak menganut sistem 'Patrilinial' atau diwariskan oleh pria. 

hak dan kewajiban wanita batak dalam hukum yang menikah dengan pria diluar suku batak


Namun bagaimanakah hak dan kewajiban serta kedudukan wanita Batak dalam mata Hukum yang menikah dengan pria diluar suku Batak ?

Kedudukan Pria dan Wanita di Indonesia telah diatur oleh Mahkamah Agung dalam hal berikut untuk dapat menjadi bahan referensi teman-teman www.sibatakjalanjalan.com .

Adapun Putusan Mahkamah Agung yang disebutkan dalam pembahasan hak atas laki-laki dan perempuan adalah :

a. Putusan Tanggal 31 Januari 1968 Nomor 136K/Sip/ 1967 

Bahwa Mahkamah Agung telah membenarkan Putusan Pengadilan Tinggi yang mempergunakan hukum adat Batak ‘Holong Ate’ atas pembagian harta warisan di daerah Padang Sidempuan.

Hukum adat Batak Holong Ate telah memberikan bagian warisan kepada anak perempuan lebih banyak atas pertimbangan kemajuan kedudukan dan hak perempuan di tanah Batak

Pengadilan Negeri Sidempuan memberikan pertimbangan bahwa menurut kebiasaan, bagian Holong Ate itu hanya diberikan sebagian kecil dari harta peninggalan orang tuanya sebagai pertanda bahwa anak perempuan telah mendapat bagian dari harta peninggalan.

Kemudian pengadilan negeri tinggi memberikan pertimbangan bahwa karena ini bukan suasana dulu (1928) mengenal kedudukan dan hak-hak perempuan oleh karena itu menurut alur dan patut bagian anak perempuan haruslah lebih dari suasana tahun 1928, sehingga patut mendapat lebih besar.

Pertimbangan pengadilan negeri tinggi tersebut, Mahkamah Agung mengatakan bahwa putusan tersebut tidak bertentangan dengan hukum dan karenanya menolak permohonan kasasi. Mahkamah Agung telah menunjukkan sikapnya bahwa sistem ataupun prinsip-prinsip yang dianut masyarakat adat Batak Toba harus mulai lebih terbuka sesuai dengan hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

b. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 30 Juni 1971 No.415k/Sip/1970 

Bahwa Mahkamah Agung di dalam pertimbangannya memperkuat kembali dengan mengatakan bahwa hukum adat di daerah Tapanuli juga telah berkembang ke arah pemberian hak yang sama kepada anak perempuan seperti anak laki-laki.

c. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari Nomor 528K/Sip/1972 

Mahkamah Agung membenarkan/menguatkan putusan Pengadilan Tinggi yang menyebutkan bahwa di daerah hukum adat Tapanuli Selatan terdapat suatu lembaga Holong Ate yaitu pemberian menurut rasa keadilan kepada anak perempuan, apabila si meninggal tidak meninggalkan anak lak-laki.
Dengan adanya lembaga Holong Ate ini, anak perempuan berhak memperoleh sebagian dari harta peninggalan Almarhum ayahnya yang dituntut olehnya, dan ini sudah memenuhi rasa keadilan dan kemanusiaan.

d. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 31 Juli 1973 Nomor 1037K/Sip/1971

Mahkamah Agung menyatakan bahwa anak perempuan adalah merupakan satu-satunya ahli waris dan yang berhak atas harta, warisan yang ditinggal pewaris.

e. Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 November 1976 Nomor 284K/Sip/1975

Telah membenarkan/menguatkan putusan Pengadilan Tinggi yang menyebutkan menurut hukum adat waris baru, istri dan anak perempuan adalah ahli waris. Apabila dilihat kalimat “hukum adat waris baru” bahwa Dewasa ini anak perempuan telah diakui sebagai ahli waris yang sah. Dan hal ini menunjukkan/merupakan pertumbuhan hukum adat ke arah persamaan hak antara anak laki-laki dan anak perempuan.

f. Pada putusan Mahkamah Agung Tanggal 31 Januari 1968 Nomor 136K/Sip/1997 dan Putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari 1973 Nomor 528K/Sip/1972 

Lembaga Holong Ate ini telah membelikan kesempatan kepada anak perempuan bahwa kedudukannya adalah sama dengan anak laki-laki. Sesuai dengan perkembangan dan penerobosan terhadap sistem kekerabatan yang diterapkan oleh masyarakat Batak Toba yang berpengaruh terhadap hak warisan maka sekarang anak perempuan adalah ahli waris dari orang angkatnya. 

Hal ini dapat disimpulkan oleh penulis bahwa putusan Mahkamah Agung menetapkan Lembaga Holong Ate merupakan lembaga bagi kaum perempuan dalam adat Batak Toba berhak untuk mendapatkan hak warisnya yang sejajar dengan kaum laki-laki walaupun sistem kekerabatannya tetap menggunakan sistem kekerabatan patrilineal.

Pada upacara religi, baik martutu aek, mangalontik ippon, atau upacara pemakaman, upacara adat terhadap wanita mempunyai perlakuan dan kedudukan sama halnya dengan pria. 

Dalam kegiatan ulaon-ulaon adat, parhobas, yang mempersiapkan dan melayani acara, termasuk menghidangkan makanan juga dilakukan oleh pria dan wanita secara bersama-sama.

Hal Yang Terjadi saat Wanita Batak menikah dengan Pria di Luar Suku Batak

Idealnya seperti yang teman-teman Sibatakjalanjalan.com ketahui bahwa perkawinan(pernikahan) adat Batak dilakukan oleh wanita Batak dengan laki-laki Batak juga. 

Namun seiring dengan perkembangan zaman dan peningkatan dalam menggunakan media social sebagai jalur komunikasi, perkawinan(pernikahan) adat Batak dapat pula dilakukan oleh wanita Batak dengan laki-laki diluar Batak atau laki-laki Batak dengan wanita diluar Batak. 

Menurut hukum adat Batak, apabila akan diselenggarakan perkawinan(pernikahan) campuran antarsuku, adat dan agama yang berbeda, maka dilaksanakan dengan “Marsileban”. 

Marsileban maksudnya adalah laki-laki atau perempuan yang bukan warga adat Batak harus diangkat dan dimasukkan terlebih dahulu sebagai warga adat Batak dalam ruang lingkup “Dalihan Na Tolu”. 

Jika calon suami merupakan orang luar maka ia harus diangkat masuk ke dalam warga adat “hula-hula”, dan apabila calon istri berasal dari luar suku Batak, maka ia harus diangkat kedalam warga adat “namboru”. 

Dengan solusi adat yang dimaksudkan sebelumnya, diharapkan perkawinan(pernikahan) adat tetap dalam jalur “asymmetrisch connubium”.  

Apabila perkawinan(pernikahan) tersebut terjadi antara wanita Batak dengan laki-laki diluar Batak, maka laki-laki tersebut diberikan marga agar dapat diterima oleh masyarakat adat dan dapat ikut upacara adat Batak. 

Pemberian marga Batak dalam pelaksanakan perkawinan(pernikahan) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari aturan adat perkawinan(pernikahan) itu sendiri. Penyatuan acara adat ini dilakukan juga untuk menghemat biaya, tenaga, dan waktu.

Dalam catatan penulis bahwa menurut Helman Billy Situmorang, adapun adata pelaksanaan dan adat pengesahan marga adalah :
  1. Dapat dilaksanakan sebelum atau sesudah perkawinan(pernikahan).
  2. Memohon kepada kerabat yang dituakan dari marga yang dipilih, dilanjutkan penentuan hari, tempat dan bentuk adat yang dilaksanakan.
  3. Penyerahan sinamot (mahar) wanita berupa uang atau barang, kemudian upacara pesta dan makan bersama serta penyerahan ulos dan parjambaran berupa makanan. Setelah itu pemberian adat berupa upa suhut, upa paramaan, upa tulang pariban dohot ale-ale.

Adapun proses dari pemberian marga dalam adat Batak dengan tujuan pernikahan(perkawinan) yaitu:
  1. Orang-tua pihak pria meminta pamanya untuk bersedia menerima calon istri keponakannya semarga dengannya.
  2. Setelah disetujui dan diterima maka diadakan adat pengesahan marga dihadapan pemuka adat dan masyarakat adat Batak Toba yang dilakukan secara terang dan tunai. Tunai dimasukkan disini adalah dengan membayar sejumlah uang kepada pamannya agar mau memberikan marganya dan menganggap seperti anak kandungnya sendiri. 
Dengan telah dilaksanakan pengesahan atau peresmian marga menurut adat Batak Toba, maka wanita yang dahulu bukan bagian dari suku Batak kini telah menjadi warga masyarakat Batak dan juga tentu adalah bagian dari persekutuan marga yang dipilihnya.

Setelah Pemberian Marga dan Menjadi Bagian dari Masyarakat Batak

Sejak pemberian maka secara formal wanita yang tadinya bukan suku Batak kini telah diangkat menjadi warga Batak Toba sesuai dengan marga yang disahkan dan mempunyai kedudukan; hak; dan kewajiban yang sama dengan warga adat lainnya.

Hal ini diperjelas oleh Gultom Rajamarpodang yang berpendapat bahwa, perlu bagi suku Batak Toba hal yang mengenai perkawinan(pernikahan) antar suku di Indonesia agar si menantu dapat benar-benar menjadi masyarakat adat Batak. 

Oleh karena itu pemberian marga harus diikuti perubahan sikap dan prilaku sehingga yang bersangkutan benar-benar dapat diterima sebagai masyarakat adat.

Perkawinan(pernikahan) yang telah dilangsungkan antara kedua belah pihak membawa hal-hal khusus yang terjadi baik terhadap pihak kerabat maupun terhadap para pihak yang merupakan pihak kodrati. 

Suku Batak menganut sistem kekeluargaan patrilineal

Awalnya perkawinan(pernikahan) didefinisikan sebagai pembelian seorang wanita, di mana perempuan dibebaskan dari keluarga mereka setelah transaksi pembayarannya telah disepakati sebelumnya. 
Transaksi dapat berupa pembayaran dengan barang-barang berharga, hewan (babi, kerbau, sapi) atau sejumlah uang untuk diberikan pada pihak perempuan. 

Corak utama dari perkawinan(pernikahan) pada sistem kekeluargaan patrilineal ini adalah disertai dengan pembayaran perkawinan(pernikahan) disebut juga sebagai uang jujur. 

Adapun kemudian “Uang jujur” tersebut sebagai tanda yang diberikan dari pihak laki-laki kepada keluarga pihak perempuan bahwa hubungan kekeluargaan si istri dengan orang tuanya begitupun saudara-saudaranya telah diputuskan. 

Tetapi apabila perkawinan(pernikahan) dilakukan tanpa adanya prosesi pengangkatan marga (mangain), maka si wanita akan melebur ke adat suku si laki-laki. 

Pernikahan Wanita Batak dengan Pria Bukan Batak

Perkawinan(pernikahan) yang dilakukan wanita Batak dengan pria bukan orang Batak berarti wanita tersebut akan menghilangkan kewargaan adat Batak, oleh karena suami yang berasal dari luar suku Batak tidak boleh menjadi penerus keturuan Batak. 

Konsekuensi yang harus ditanggung oleh si wanita/perempuan tersebut adalah bahwa ia masih dapat melakukan dan terlibat dalam adat budaya keBatakan, namun terdapat batasan-batasan yang tidak bisa dilakukan oleh wanita tersebut, seperti memberikan dan menerima ulos dalam upacara adat Batak. 

Wanita yang menikah kepada pria yang bukan dari suku Batak dalam keluarganya masih menjadi bagian keluarga, meskipun seperti yang teman-teman sibatakjalanjalan.com ketahui bersama, bahwa  wanita tersebut telah melakukan perkawinan(pernikahan) dengan pria diluar Batak, karena hubungan kekeluargaan bukan merupakan konteks adat. 

Anak hasil perkawinan(pernikahan) ini masuk ke dalam adat suku suaminya dan tetap masih diakui diluar adat Batak, tetapi anak tersebut tidak berhak atas marga Batak yang ada pada ibunya namun apabila suami sudah melakukan upacara adat pemberian marga, maka marga dari suami dapat diteruskan kepada keturunannya.

Pada dasarnya dalam sistem pewarisan adat Batak, anak perempuan tidak mendapat harta warisan dari keluarganya, yang akan mendapat warisan nantinya adalah anak laki-laki. 

Namun penting untuk kita ketahui bersama bahwa anak perempuan juga dapat diberikan warisan apabila mendapat kesepakatan atau diberi oleh saudara laki-lakinya. 

Perkawinan(pernikahan) wanita dengan pria diluar suku Batak tidak menimbulkan akibat hukum dalam hal pewarisan. 

Jika diperhatikan ketentuan-ketentuan adat Batak Toba yang dipengaruhi oleh sistem patrilineal dan juga dikaitkan dengan kondisi masyarakat di Indonesia, lazimnya orang tua laki-laki yang bertanggung jawab dalam memberikan biaya hidup kepada keluarga.

Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat diambil bersama dari : Kedudukan Wanita Suku Batak Toba Yang Melakukan Perkawinan Dengan Pria Suku Diluar Suku Batak Toba Dalam Hukum Adat Batak Toba. Bahwa Perempuan dalam Adat Batak Toba mempunyai kesetaraan dengan pria. Mengenai harta peninggalan diberikan kepada anak perempuan dan anak laki-laki secara merata dan adil. 

Dengan adanya persamaan hak dan kedudukan antara suami dan istri di dalam rumah tangga, antara anak laki-laki dan anak perempuan diperbolehkan seorang istri melakukan perbuatan hukum, misalnya  melakukan jual beli, pinjam-meminjam dan lain-lain. 

Hal ini dilatar belakangi rasa sosial dari suami kepada istrinya. 

Dari segi harta warisan, hak atas tanah memang untuk anak (keturunan laki-laki), karena wanita kelak kan menikah maka keturunannya akan mengikuti marga suaminya. 

Warisan untuk wanita biasanya berupa pemberian ibunya sewaktu si wanita masih gadis, dapat berupa pakaian atau emas perhiasan.

Pertumbuhan masyarakat dewasa ini menuju ke arah persamaan kedudukan antara laki-kaki dan perempuan serta sebagai ahli waris, dalam hal ini juga telah dikukuhkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Tanggal 31 Januari 1968 Nomor 136K/Sip/ 1967, Putusan Mahkamah Agung Tanggal 30 Juni 1971 No.415k/Sip/1970, Putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari Nomor 528K/Sip/1972, Putusan Mahkamah Agung Tanggal 31 Juli 1973 Nomor 1037K/Sip/1971, Putusan Mahkamah Agung tanggal 2 November 1976 Nomor 284K/Sip/1975, Pada putusan Mahkamah Agung Tanggal 31 Januari 1968 Nomor 136K/Sip/1997 dan Putusan Mahkamah Agung Tanggal 17 Januari 1973 Nomor 528K/Sip/1972. 

Disimpulkan oleh penulis, bahwa putusan Mahkamah Agung menetapkan Lembaga Holong Ate merupakan lembaga bagi kaum perempuan dalam adat Batak Toba berhak untuk mendapatkan hak warisnya yang sejajar dengan kaum laki-laki walaupun sistem kekerabatannya tetap menggunakan sistem kekerabatan patrilineal.

Dalam melakukan perkawinan(pernikahan) dengan pria di luar suku Batak, dapat menimbulkan akibat-akibat hukum bagi wanita. 

Perkawinan(pernikahan) yang dilakukan  wanita Batak dengan pria bukan orang Batak berarti ia menghilangkan kewargaan adat Batak, oleh karena suami dari luar Batak tidak boleh menjadi penerus keturuan Batak. 

Meskipun menikah dengan pria di luar suku Batak dapat menghilangkan kewargaan adat Batak, wanita masih dapat melakukan dan terlibat dalam adat budaya keBatakan, namun terdapat batasan-batasan yang tidak bisa dilakukan semisal memberikan dan menerima ulos dalam upacara keadatan.

Perkawinan(pernikahan) dengan pria di luar suku Batak tidak menghilangkan hubungan kekeluargaan wanita dengan keluarganya. 

Wanita masih menjadi bagian keluarga karena hubungan kekeluargaan bukan merupakan konteks adat. 
Akibat hukum tersebut juga dapat terjadi pada keturunannya, anak hasil perkawinan(pernikahan) ini adalah masuk ke dalam adat suku suaminya. Anak tersebut tidak berhak atas marga Batak yang ada pada ibunya. 

Namun apabila pihak pria diberikan marga dengan syaratsyarat yang sudah terpenuhi dan di hadiri oleh tetua-tetua adat maka dengan upacara tersebut pria bisa mendapatkan marga dan diakui sebagai warga adat Batak dan marga tersebut dapat diwariskan kepada keturunannya. 

Dalam hal pewarisan, sesuai dengan adat Batak yang diberikan harta warisan adalah anak laki-laki, perempuan tidak mendapat warisan meskipun ia kawin dengan pria suku Batak atau kawin di luar suku Batak juga tidak berpengaruh karenan pada dasarnya wanita tidak mendapat warisan. 

Namun juga dapat diberikan kepada anak wanita sesuai dengan kesepakatan.

Horas.

Referensi : Meisa, Relinda. dan Ririn Putri. Kedudukan Wanita Suku Batak Toba Menikah Dengan Pria Suku Diluar Suku Batak Toba Dalam Hukum Adat Batak Toba. Fakultas Hukum UNS

Baca juga tulisan kami tentang Pernikahan yang dilarang dalam suku Batak Toba
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url