Ulos Batak sebagai bagian dari Kebudayaan Suku Batak

Sejarah Kain Ulos


Kebudayaan Batak terlebih kepada Ulos Batak, juga keberadaan dari sejarah kain ulos secara khusus telah diteliti dan dipejalajari oleh para antropologi budaya dan Antropologi Sosial.

 
ulos batak sebagai bagian dari kebudayaan suku batak


Melihat dan membaca tentang Sejarah Ulos Batak Toba khususnya, akan membawa teman-teman SibatakJalanJalan kembali untuk memahami dan memberikanperhatian teman-teman sibatakjalanjalan terhadap kebudayan yang merupakan bagian sentral kehidupan bermasyarakat dan berbangsa Suku Batak Toba.

Sehingga teman-teman www.sibatakjalanjajalan.com tidak lagi menyampingkan kebudayaan ini dalam kehidupan sehari-hari. 

Kebudayaan Batak juga sebagai isyarat bahwa sejatinya masyarakat dan kebudayaan tak dapat dipisahkan dan selamanya merupakan "Dwitunggal". 

Dua orang antropologi terkemuka yaitu Melville J.Herkovitas dan Bronislaw Malinowski mengemukakan balıwa “Cultural Determinism” berarti segala sesuatu yang terdapat didalam masyarakat ditentukan oleh adanya kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu.

Dalam pengertian sehari-hari, istilah kebudayaan sering diartikan sama dengan kesenian, terutama seni suara dan seni tari. 

Akan tetapi apabila istilah kebudayaan diartikan menurut ilmu-ilmu sosial, maka kesenian merupakan salah satu bagian saja dari kebudayaan.

Kata "kebudayaan" berasal dari bahasa sansekerta “buddhayah” yang merupakan bentuk jamak kata "buddhi" yang berarti budi atau akal. 

Kebudayaan diartikan sebagai "hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal." Adapun istilah “culture” yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan “kebudayaan”, berasal dari kata latin "colore”. 

Artinya mengolah atau mengerjakan, yang pada awalnya mengolah tanah atau bertani. 

Dari istilah ini, bahwa culture diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan mengubah alam.

Selo Soelaeman Soemardi merumuskan kebudayaan sebagai semua hasil karya, rasa, cipta masyarakat. 

Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau kebudayaan jasmaniah (material culture) yang diperlukan oleh manusia untuk menguasai alam sekitarnya, agar kekuatan serta hasilnya dapat diabadikan untuk keperluan masyarakat (kepentingan bersama).

Kebudayaan setiap bangsa atau masyarakat terdiri dari unsur-unsur besar maupun kecil yang merupakan bagian dari suatu kesatuan yang bersifat kesatuan dan kompleks. 


modifikasi ulos dalam berbusana modern
Sumber gambar : instagram.com

7 Unsur Kebudayaan Sebagai Cultural Universal

    1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transpor dan sebagainya).

    2. Mata penaharian hidup dan sistim ekonomi (pertanian, peternakkan, sistim produksi dan sebagainya).

    3. Sistem kemasyarakatan (sistim kekerabatan, organisasi politik, sistim hukum, sistim perkawinan).

    4. Bahasa (lisan maupun tertulis).

    5. Kesenian (seni rupa, seni suara, seni gerak dan sebagainya).

    6. Sistim pengetahuan.

    7. Religi (sistem kepercayaan).

Cultural universal dapat kemudian dijabarkan kembali kedalam unsur- unsur yang lebih kecil atau yang disebut cultural activity

Sebagai contoh dari “Cultural universal” dari pencarian hidup dan ekonomi, antara lain mencakup kegiatan-kegiatan seperti pertanian,peternakan, sistem produksi,sistem distribusi dan lain-lain. 

Kesenian dapat meliputi kegiatan-kegiatan seperti seni tari, seni rupa, seni suara dan lain-lain. 

Selanjutnya kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut menjadi unsur- unsur yang lebih kecil lagi yang disebut dengan Trait-Complex

Misalnya, kegiatan pertanian menetap meliputi unsur-unsur irigasi, sistem mengolah tanah dengan bajak, sistem hak milik atas tanah dan lain sebagainya.

Selanjutnya “Trait-Complex” mengelola tanah dengan bajak, akan dapat dipecah-pecahkan ke dalam unsur-unsur yang lebih kecil iagi seperti pada  hewan-hewan yang menarik bajak, teknik mengendalikan bajak dan seterusnya. 

Kebudayaan mengatur agar manusia dapat mengerti bagaimana hal yang dilakukan apabila harus segera bertindak, melakukan sesuatu,  bagaimana menentukan sikap bila kalau teman-teman www.sibatakjalanjajalan.com berhubungan dengan oranglain. 

Setiap orang akan selalu menciptakan kebiasaan bagi dirinya sendiri Kebiasaan disebut juga sebagai “habit” yang dapat diartikan merupakan suatu perilaku pribadi. 

Pribadi berarti bahwa kebiasaan seseorang itu berbeda dari kebiasaan orang lain.Kebiasan teman-teman www.sibatakjalanjajalan.com menunjukan pada suatu gejala bahwa seseorang di dalam tindakan-tindakannya selalu ingin melakukan hal- hal yang teratur bagi teman-teman pembaca.

Kebiasaan- kebiasaan yang baik akan diakui serta dilakukan pula oleh orang-orang lain dalam bermasyarakat. 

Bahkan apabila kebiasaan tersebut memiliki makna dan tujuan berarti/positif, kebiasaan tersebut berpeluang dijadikan patokan bagi orang lain, bahkan kebiasaan seperti itu akan dijadikan kebiasaan yang teratur baik pribadi maupun masyarakat pada umumnya.

Disamping adat- adat istiadat, ada kaidah- kaidah yang dinamakan peraturan atau dapat dikenali juga sebagai hukum, yang memang dibuat untuk mengatur, dan pada dasarnya setiap hokum memiliki sangsi untuk tiap pelanggarnya.

Peraturan dalam kebudayaan bertujuan membawa suatu keserasian dan memperlihatkan hal-hal yang bersangkutan dengan keadaan lahiriah maupun batiniah manusia.

Di dalam setiap masyarakat terdapat pola-pola perilaku atau “patterns of behavior”. 

Pola- pola perilaku merupakan cara- cara masyarakat bertindak atau berkelakuan yang sama dan harus diikuti oleh semua anggota masyarakat tersebut.

Pola- pola perilaku masyarakat sangat dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat, seperti pada pola- pola berbeda dengan kebiasaan. 

Kebiasaan merupakan cara bertindak seseorang anggota masyarakat yang kemudian diakui dan mungkin diikuti oleh orang lain. 

Pola perilaku dan norma- norma yang dilakukan dan dilaksanakan pada hal  khusus apabila seseorang berhubungan dengan orang- orang lain, disebut sebagai "Social organization".
 
motif ulos pada gitar
Sumber gambar : instagram.com

Setiap kebudayaan mempunyai sifat hakekat yang berlaku secara umum :

    1. Kebudayaan terwujud dan tersalurkan melalui perilaku manusia.

    2. Kebudayaan telah ada terlebih dahulu mendahului lahirnya suatu generasi tertentu, dan tidak akan mati dengan habisnya usia generasi yang bersangkutan.

    3. Kebudayaan diperlukan oleh manusia dan diwujudkan dalam tingkah lakunya.

    4. Kebudayaan mencakup aturan-aturan yang berisikan kewajiban-kewajiban, tindakan-tindakan yang diterima dan ditolak, tindakan-tindakan yang dilarang dan tindakan-tindakan yang dijinkan.

Untuk melestarikan dan menjaga kesimbangan, kesepadanan antara budaya dan masyarakat terlebih pada keberadaan sejarah kain ulos Suku Batak, dan untuk tidak meletakkan budaya pada posisi konfilk universal dan internal dalam masyarakat, hendaknya kebudayaan dan keberadaan Ulos Batak itu kita posisikan dalam suatu proses perjalanan dan perkembangan yang dinamis dan mantap sehingga tidak bertumpu saja. 

Keberadaan sejarah kain Ulos da Suku Batak penting dalam mempertahankan nilai ketradisionilan yang ketat dan tidak lagi kaku dengan tanpa merubah nilai-nilai khas dari budaya Sejarah Kain Ulos Batak itu sendiri.

Budaya Batak dan Keberadaan Ulos Batak sebagai Bagian sejarah

Budaya Batak adalah bagian dari sekian banyak budaya daerah yang tersebar di seluruh Kepulauan Nusantara. 

Budaya keberadaan dan sejarah Kain Ulos Batak ini misalnya memiliki ciri yang khusus dan unik serta senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis di tengah-tengah komunitas Batak yang terbagi di dalam 6 Etnis Batak yaitu Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun dan Batak Pakpak/Dairi

Keenam sub etnis Batak ini memiliki ciri budaya yang tersendiri tetapi tidak memiliki perbedaan nilai yang mendasar.
 
Budaya Batak adalah ciri khas dan hakekat "Habatahon" yang memiliki 3 (tiga) unsur yang sangat padu dan kompleks yakni : Keberadaan Nilai, Visi dan Identitas (inilah ciri habatahon yang seutuhnya).

Nilai Habatahon adalah nilai yang didasari atas konsep "Dalihan Natolu" yang secara turun temurun dari generasi ke generasi tetap diakui sebagai dasar pengikat masyarakat Batak yang memiliki nilai filosfi yang sangat tinggi. 

Konsep Dalihan Natolu dengan tiga konsep dasar yakni : Somba Marhula-hula, Elek Marboru dan Manat Mardonagan Tubu menjadi dasar utama didalam pilar kelestarian komunitas Batak secara universal didalam tatanan hidup sebagai masyarakat yang memiliki tatanan sosial budaya secara kompleks dan utuh yang masing-masing unsur memiliki keterikatan dan kesinambungan yang padu yakni :
    1. Mardebata (beragama)

    2. Marraja (memiliki sistim pemerintahan)

    3. Maruhum (memiliki tatanan hukum)

    4. Marpatik (memiliki aturan atau norma)

    5. Maradat (memiliki sistim adat istiadat)

    6. Marhuta (memiliki tempat tingal)

    7. Marhata (memiki bahasa)

    8. Martutur ( memiliki kekerabatan)

    9. Marsaor (bermasyarakat)

Sedangkan visi orang Batak terukir dan tersirat secara utuh dan fanatis didalam Falsafah Batak yang terdiri atas 3 unsur padu yakni ; Hamoraon, hagabeon dan hasangapon


Hamoraon dalam konteks masyarakat Batak bukan hanya atas dasar kekayaan material belaka (hamoraon diarta) , tetapi lebih daripada itu, yakni memiliki arti bahwa :

    1. Kaya akan harta (hamoraon di arta manang sinamot)
    2. Kaya akan pengetahuan (Hamoraon diparbinotoan dahot habisuhon)
    3. Kaya atas keturunan (mora dihagabeon) adalah kekayaan yang sangat sinkron atau lengkap. 


Hagabeon adalah salah satu anugrah dan pemberian Tuhan yang sangat di impikan dan didambakan setiap orang Batak yang tetap dihayati sebagai pemberian Tuhan yang paling sempurna bagi orang Batak dan inilah impian yang sebenarnya. 

“Punu” adalah satu hal (nasib) yang sangat buruk dan dibenci karena dapat menghilangkan garis keturunan disimpang perjalanan generasi yang panjang, sedangkan anak (keturunan) terutama anak laki-laki adalah sebagai penyambung gererasi dari zaman ke zaman.


Hasangapon adalah "Tuah" bagi orang Batak. Sangab berarti disegani, dihomati dan terpandang. 

Semua orang batak selalu berupaya untuk diparsangapi (dihormati) dan bukan merupakan kemunafikan atau kesombongan. “Sangap” dalam pengertian ini adalah sangap secara terhormat dan positif. 


Identitas Batak adalah salah satu keharusan yang harus ditumbuhkembangkan dan dihayati oleh setiap orang Batak secara utuh dan konsisten, tidak ragu-ragu atau malu-malu. 

Kehilangan identitas berarti kehilangan diri sendiri, maka kehilangan identitas Batak adalah kehilangan dan kepunahan orang Batak. 

Identitas orang Batak adalah : Marga Batak yang beranekaragam, Bahasa Batak dan Aksara Batak yang memiliki ciri yang khas, Suku Batak sebagai bagian dari suku Nusantara, Ulos Batak sebagai warisan budaya dari masa ke masa dan Tanah Batak (Tano Batak) sebagai tempat asal atau leluhur orang Batak.

Ketiga unsur inilah yang menandakan orang Batak seutuhnya, dan apabila salah satu dari unsur ini dihilangkan maka dinamika "habatahon" akan kabur dan samar-samar (disebut juga sebagai Batak Dalle).

Budaya Batak tumbuh dan berkembang di dalam 3 fase perjalanan lintas budaya dunia

    1. Fase pertama diawali dari budaya yang tergolong ke dalam budaya Tipologi Primitif yakni dengan sistim kemasyarakatan yang hidup didalam tatanan primitif yakni sebagai petani tradisional, petani berpindah-pindah dan hidup di desa-desa atau pedalaman.

      Mangarimba
      (membuka lahan baru) dan mamungka huta (membuka kampung baru) adalah ciri khas masyarakat Suku Batak.

    2. Fase ke dua adalah masuknya ke Kristenan pada abad ke 16-17 ke tanah Batak yang diawali oleh masuknya Misionari dari Barmen Jerman dipelopori oleh RMG.

      Fase inilah yang merupakan awal pencerahan dan awal kemajuan orang Batak. Mengubah pola pikir dari sistem tradisional ke pola pikir terbuka dan bebas.

    3. DR. IL. Nomensen adalah penggagas keterbukaan dan kemajuan orang Batak.

      Pembukaan pos-pos pekabaran Injil, sekolah-sekolah, pos-pos kesehatan dan pertukangan (teknik) menjadi senjata paling ampuh didalam proses penyebaran ke Kristenan di Tanah Batak.

    4. Fase ke tiga adalah fase Globalisasi yang kini sedang bergaung di tengah-tengah tatanan dunia. Persoalan pada fase ini adalah bagaimana kita meyikapi dan mensejajarkan budaya Batak agar tetap ada sejalan dengan zaman globalisasi.

      Kebudayaan  menjadi berubah-ubah, tidak kaku dan statis tetapi dapat menjadi dinamis.

      Dan pada konsep ini kemudian yang perlu kita gagasi didalam membicarakan budaya Suku Batak tetapi jangan menghilangkan nilai-nilai luhurnya seperti halnya keberadaan dari Ulos Batak dan Sejarah Kain Ulos

Umpasa Batak yang mengatakan : 

Ompunta Sijolo tubu martungkot Siala Gundi, napinungka ni parjolo sihuntaonon ni parpudi 
Dalam umpasa ini juga kita dapat memaknai bahwa istilah "sihuntonon" menjadi "sipadengganon" niparpudi.


Kain Ulos Batak serta hubungannya dengan Budaya Batak

Kain Ulos Batak dalam komunitas Batak memiliki dua pengertian yang berbeda tetapi maksud dan tujuannya adalah sama yakni Ulos dalam pengertian umum (luas) dan Ulos dalam pengertian budaya atau adat (Pengertian intern). 

Ulos dalam pengertian yang umum dapat diartikan sebagai selimut di dalam bahasa Indonesia, kain yang terbuat dari benang yang biasanya dikemas dalam bentuk Wol atau jenis lainnya dan dirancang secara khusus untuk mengahangatkan tubuh pada musim dingin atau malam hari. 

Didalam proses penggunaan dan manfaat Ulos semacam ini tidak memiliki suatu keterikatan atau nilai khusus, dalam arti Kain Ulos di sini adalah sebagi perangkat kelengkapan keluarga atau pribadi dalam kebutuhan hidup sehari-hari.

Sedangkan Ulos/Kain Ulos dalam arti adat atau budaya Batak adalah bahwa Ulos Batak yang dikemas dari bahan kain atau sejenisnya yang biasanya dihasilkan oleh kerajinan tangan yang dikenal sebagai "tonun". 

Pada prinsipnya ulos Batak dipergunakan dan prioritaskan pada fungsi adat dan budaya, maka dalam konteks keperluannya dan pembuatannya harus memiliki ciri dan makna yang khas sesui dengan konsep kebatakan. 

Ciri warna (ragi) ulos Batak pada hakekatnya selalu didominasi 3 (tiga) ciri khas warna Batak yakni merah, putih dan hitam. 

Dan seiring perkembangan zaman, sehingga teknologi saat  ini memberikan perubahan fungsi Ulos dan Kain Ulos sebagai bahan komoditi/dapat diperdagangkan, maka corak dan ragam Kain Ulos Batak menjadi beraneka ragam sesuai dengan selera dan keinginan dari pemesan dan pemakai Kain Ulos tersebut.

Ulos Batak memiliki fungsi dan makna yang sangat luas bagi masyarakat Batak. 

Penulis dalam tulisan ini mencoba memaparkan beberapa fungsi Kain Ulos Batak yang sampai saat ini masih tetap eksis berkembang, dihayati dan sebagai sesuatu yang memiliki nilai berharga, dan beberapa dari nilai tersebut masih memiliki ciri khas dari peninggalan nilai-nilai kebudayaan Batak yang Bersifat tradisionil.

Nilai-nilai yang dimiliki Kain Ulos Batak adalah :

    1. Nilai Religius
    2. Nilai Spiritual
    3. Nilai Budaya dan sastra
    4. Nilai Ekonomis
    5. Nilai Komunikasi (sarana komunikasi)

Nilai Religius maksunya disini adalah Ulos Batak dianggap memili kekuatan dan diyakini sebagai simbol permohonan kepada Tuhan,  untuk dapat memohon diberikan perlindungan serta kekuatan kepada yang menerima Kain Ulos.

Nama-nama Ulos Batak/Kain Ulos Batak

Ulos Batak pada hakekatnya diberi nama berdasarkan fisik dan fungsinya :

Fisik Ulos dibedakan atau dinamakan atas : 

    1. Ulos Pamucai
    2. Ulos Ragi Hidup
    3. Ulos Ragi Hotang
    4. Ulos Sitołu Tuho
    5. Ulos Sadum
    6. Ulos Sibolang, dll.


Sedangkan menurut Fungsinya dibedakan atas :

a. Dalam upacara adat duka cita :

    1. Ulos Sampe tua
    2. Ulos Tujung
    3. Ulos Saput
    4. Ulos Holong

b. Dalam upacara adat suka cita :

    1. Ulos Pancamot
    2. Ulos Pargomgom
    3. Ulos Pamarai
    4. Ulos Sihunti Ampang
    5. Ulos Hela
    6. Ulos Simalohon
    7. Ulos Holong
    8. Ulos Tondi

Makna dan Simbol Pemberian Ulos dalam masyarakat Batak dan peraturan dalam memberikan Kain Ulos

Memberikan dan menyajikan Ulos Batak/Kain Ulos pada pesta-pesta Batak bukanlah merupakan suatu kegiatan kebiasaan atau seremonial saja, namun simbol-simbol pemberian ulos merupakan suatu tanggaungjawab moral dan merupakan pesan dari apa yang diamanatkan dalam konsep. 

Sejarah Kain Ulos Batak dalam konsep Dalihan Natolu masyarakat Suku Batak :

    1. Pemberian Ulos Batak kepada janda atau duda dari yang meninggal (mabalu) disebut dengan ulos tujung, kalau sadah tua disebut dengan Ulos Sampe Tua.

    2. Ulos Batak yang diletakkan atau ‘diuloskan’ yaitu dengan cara membentang pada mayat yang diberikan pihak boru dengan nama Ulos Saput.

      Ulos Saput dalam konteks budaya Batak memiliki makna sebagai Ulos Parpudi (ulos terakhir) yang diberikan kepada yang meninggal kemudian sebagai tanda bahwa pihak hula-hula telah mengakhiri tanggungjawabnya perihal memberikan Ulos Batak/Kain Ulos terhadap bagian dari keluarga yang telah meninggal itu.

    3. Ulos Holong atau Ulos Panggabei, yaitu Ulos Batak/Kain Ulos yang diberikan hula-hula kepada keturunan orang yang meninggal, baik kepada pihak anak dan pihak boru sesuai dengan kesepakatan pihak yang menerima.

      Ulos ini memiliki makna religius, spritual dan sebagi media dari pihak hula-hula kepada boro/bere/hela/dsb, agar berawal dari pesta tersebut seluruh pihak yang menerima ulos mendapat pasu-pasu (berkat), baik pasu-pasu hamoraon, hagabeon, hasangapon sesuai dengan visi orang Batak dan dapat cepat terhibur dari duka yang mendalam yang menimpa pihak penerima ulos.

Simbol-simbol ulos yang diberikan oleh pihak pemberi (pihak hula-hula) kepada pihak borunya adalah sebagai berikut :

    1. Ulos Tujung merupakan suatu simbol bahwa yang bersangkutan secara resmi telah menjadi janda atau duda. Setelah yang meninggal dikebumikan Ulos Tujung segera dibuka atau ditanggalkan oleh hula-hula dalam acara singkat.

    2. Ulos Saput merupakan simbol bahwa yang meninggal resmi meninggalkan keluarga dan handai-taulan, oleh sebab itu diberi ulos sebagai pakaian baru menuju ke tempat baru yang kekal dan peti baru sebagai rumah baru di tempat yang baru.

    3. Ulos Holong merupakan simbol kasih sayang dari keluarga pihak isteri (hula-hula, tulang, tulang rorobot dan hula-hula bona ni ari).

Perlu disosialisasikan dan dihayati setiap orang Batak, bahwa nilai ulos sebagai hasil karya budaya, ditentukan oleh sejarah pembuatannya, usia/usia ulos tersebut dan perlu diteliti berapa kali perpindahan tangan pemakai ulos tersebut.

Pemikiran ulos sebagai pengertian sebatas kado sungguh sangat sempit, tetapi harus kita hayati, betapa tinggi nilai-nilai ulos tersebut dan betapa banyak makna dari ulos yang diberikan dan ditemima pihak-pihak yang bersangkutan.

Baca juga ulasan kami tentang 5 Tips Foto Instagrammable Saat Travelling.

Referensi : Seminar Sehari Budaya Batak pada acara Peringatan Hari Jadi Kabupaten Tapanuli Litara ke 63 di Aula SMA 2 HKBP TARUTUNG
Disampaikan Oleh. Drs. L. Panggabean
NB : beberapa kata dan kalimat sudah dirubah penulis dan mengalami penyuntingan

Horasss.

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url